| INDONESIAN |

Henri Lefebvre melalui magnum opusnya “the production of space”, pernah menyatakan salah satu elemen kunci untuk memahami ruang dan dinamika social pada fenomena kota adalah spesifikasi. Kompleksitas ruang beserta apapun proses produksi dan reproduksi didalamnya menjadikan ruang bersifat sangat spesifik dan unik.

Hal ini pula yang kembali mengaitkan memori saya tentang apa itu buku teles (basah) dan buku garing (kering). Sebuah istilah dari tradisi pembelajaran masyarakat Jawa yang secara singkat mendikotomikan kemampuan proses membaca secara harfiah melalui tulisan dan pembacaan melalui fenomena alam dan social secara nyata.

IMG_7138

Sebelum benar-benar terlibat dalam proses memahami “buku basah” melalui proyek field trip di Kamboja, saya hampir selalu mengamini pendapat Michael Foucoult, yang mungkin terlalu menghiperbolakan kehidupan masyarakat kumuh, dia berpendapat tinggalkan masyarakat kumuh dan mereka akan tahu bagaimana mereka memperjuangkan hak-haknya.

Hal ini pula yang terkadang memaksa saya untuk selalu melogikakan kehidupan slum itu selalu benar atau paling tidak selalu mempunyai nilai kebenaran. Terutama perihal kebersamaan, Ya sangat masuk akal bukan ketika di suatu lingkungan kita hidup bersama dengan kondisi yang kurang lebih sama maka kecenderungan untuk menjadi satu akan mempunyai prosentase yang lebih besar.

Nyatanya? Tidak sesimpel itu, ternyata teks disetiap konteks itu memang selalu unik dan berkarakter. Asas kebersamaan dan definisi kesatuan dalam sebuah komunitas tidak bisa dengan begitu simpelnya digeneralisasikan ada dan menancap kuat di dalam proses hidup dan kehidupan permukiman kumuh dimanapun berada.

Smorsan Community, seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya adalah contoh dimana narasi sebuah komunitas yang selama ini saya yakini sangat kuat mungkin hanya mitos. Hal ini bisa jadi ada, bisa jadi hampir ada, atau bahkan tidak sama sekali. Paling tidak itu adalah kesimpulan yang kami dapat dari beberapa dialog yang kami dapatkan beberapa hari terakhir. Misalnya, ketika kami bertanya apa yang akan anda lakukan dengan uang hasil tabungan bersama. Jawabannya cukup mengejutkan, dimana kepentingan meng-upgrade rumah secara individual menjadi prioritas yang muncul paling utama. Di lain sisi jawaban yang kami harapkan sebenarnya terkait dengan sesuatu yang berbau kepentingan bersama.

IMG_6858

Kontra indikasi teori dan realita tentang komunitas yang selama ini kami tahu pada akhirnya membuka persepektif kami lagi. Bahwa memahami kompleksitas kepentingan dan social dalam pembentukan ruang akan membawa kita pada kemungkinan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Sama halnya ketika menterjemahkan proyeksi ruang masa depan di kasus permukiman informal. Bagaimanapun ruang adalah sebuah produk pengambilan keputusan, dia berada di garis terdepan ketika kita bernegoisasi dengan aspek kepentingan dan spatial. Karenanya pula land tenure dan legalisasi selalu saja menjadi narrative yang tak terpisahkan dalam pembahasan permukiman informal.

Namun disaat yang sama, sebagai orang luar yang mungkin tidak sensitive terhadap nilai dan ethic meruang di permukiman informal. Maka kosa kata belajar, akan selalu berguna untuk diaplikasikan dalam proses pemahaman ruang seperti ini. Karena tidak ada yang lebih mengerti ruang dan prioritas selain mereka yang memahami, merasakan, dan hidup didalam ruang tersebut.

Maka dari itu proses co-production ruang menjadi sangat relevan untuk menjelaskan hal ini. Taruhlah sebagai professional planner, arsitek, atau development practicioner ande mempunyai skills, visi, strategi, dan taktik yang sangat mumpuni. Namun belum tentu apa yang anda visualisasikan itu tepat sasaran dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

IMG_7018

Itulah sebuah refleksi yang kami dapatkan, seperti contohnya ketika kami menawarkan solusi elevated space yang kemudian dikritisi oleh Komunitas Smorsan sebagai solusi yang menarik tetapi tidak visible. Mereka cenderung berpikir ke sesuatu yang visible seperti pembenahan kabel listrik, pengelolaan sampah, dan pada akhirnya ruang untuk bertemu bersama.

Disini pula akhirnya kami jadi paham komuntas seperti ini memang perlu ditemani dan juga dipahami. Ada saat menarik ketika salah seorang dari mereka sangat gembira dengan kedatangan kami, dan beliau berterimakasih pada kami yang telah datang dan meluangkan waktu untuk berbincang demi menghasilkan solusi bersama. Sangat kontras dengan mereka yang datang hanya karena penasaran bagaimana hidup berdamai dengan hantu, dan ujungnya menjadikan kawasan seperti ini sebagai slum tourism belaka.

Co-production, dalam hal ini collective dan collaborative dalam pola produksi ruang pada akhirnya menjadi sangat relevan untuk dihadirkan kembali dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahn urban, terutama di ranah permukiman kumuh dan informal. Proses pelibatan masyarakat dalam proses penggambaran ruang masa depan akan menjadi jembatan untuk mendapat sejumlah kemungkinan menarik melalui proses dialog yang luar biasa, sesuatu yang pada akhirnya memperluas harapan kota dan warganya di kemudian hari.

Ketika tulisan ini dibuat, kami baru saja menyelesaikan presentasi bersama antara komunitas Smorsan dan otoritas local setempat. Memang outputnya masih jauh dari harapan kami, dan terlalu singkat memang untuk sebuah proses yang seharusnya berjalan sustainable. Tapi setidaknya proses co-produksi ruang dan pengetahuan yang kami jalani bersama menjadi pengalaman berharga bagi kami dan mereka. Melihat antusiasme warga yang tidak hanya menjadi obyek, tetapi juga menjadi pelaku dalam proses negoisasi kepentingan adalah kebahagian sendiri. Beberapa dari mereka bahkan sangat aktif mencatat dan merekam pengetahuan baru, sesuatu yang menjadi cerminan meruang kami kedepan untuk selalu belajar.

IMG_7144

Pada akhirnya, kenyataan ini harus dipahami (lagi) oleh para professional maupun akademisi. Ada fenomena nyata yang terlihat jelas di masyarakat kita. Dan, sebagai sebuah arena yang selalu diperebutkan, kota selalu menyajikan tantangan yang tidak akan pernah mudah. Meminjam (lagi) tulisan Romo Mangunwijaya, masyarakat kumuh tahu bagaimana bertahan hidup meskipun mereka tidak tahu mengapa mereka berada disana dan bagaimana keluar dari keadaan yang sedang mereka jalani. Menghadapi masyarakat kumuh bukan berarti memberi sesuatu yang membuat mereka ketergantungan, namun membuka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah mereka untuk mendapatkan kulitas hidup dan keadilan social yang lebih baik.

Dan diinilah peran dan posisi seorang professional kembali dipertanyakan, sederhana saja “kemana”?.

Phnom Pehn, 10-05-2015

| ENGLISH |

Henri Lefebvre with his magnum opus The Production of Space ever mentioned that the key element to understanding space and social dynamic in the urban phenomenon is specifying. Space complexity and whatever production and reproduction process inside will make characteristic of space unique and specific at the same time.

For some ways, it reminds me about Javanese learning tradition buku teles (wet resource) and  buku garing (dry resource). In short, it means a dichotomy of understanding knowledge from pure written resource and understanding phenomena through perceiving social and natural reality.

Before joining a buku teles (wet resource) process through a City Wide Upgrading Workshop in Cambodia. I always agree on Michael Foucault notion about slum society. He argued that leave people in the slum they will know how to deal with their rights.

This notion sometimes pushed my logic to find the right thing about living in the slum, in particular, about togetherness. For me, it will make sense when you live in the same condition for a long time, you will have a big possibility to achieve a strong cohesiveness, is not it?

In reality, it is not that simple. It is always text within the context, and it is always unique and specific. The definition of togetherness and cohesiveness inside the community cannot be taken for granted in everywhere.

Smorsan Community is an example of how my understanding regard to the community can be just a myth. It can possibly exist, almost exist, or in worst case never exist. At least, it was our conclusion that we got in the last few days. For instance, when we asked about the use of money that people will get from the community-saving group, most of the people there mentioning about individual housing upgrading. While in our expectation, it should come up with something that relates to common needs.

Contraindication between theory and practice about community finally open a new perspective again and again. Understanding complexity of political and social in the production of space will carry us to the wider possibility that we never expect before.

It is similar to the process of visualizing future space in the case of informal settlement. After all, we have to agree that the space is a by-product of decision making. It can be defined as a frontline negotiation tool when we contest with a political and spatial aspect. Hence, land tenure and legality always act as a non-separated narrative in the informal settlement discourse.

However, at the same time, as an outsider who are not that sensitive to the value and ethical space in the informal settlement. Learning as a universal vocabulary will always match to the process of understanding this conversation. It is undeniable, that no one can understand their space except the people who conceived, perceived, and lived in their space.

At some point, co-production will be much more relevant to explain this condition. Let say, as a professional, planner, architect, and development practitioner will have a wide variety of skill, vision, strategy, and tactical as well. Nevertheless, it cannot guarantee their plan can be sustainably existed in the long time.

At least, It was our reflection that we achieved, for example when we came up with the idea of elevated space that further has been criticized by the community as a good solution yet a non-visible project. They tend to make an improvement of electrical wire, waste management, and communal space. From this point, we were very ashamed with our title as a professional, in a way.

It also makes us realized that this community should be better accompanied. One interesting dialogue mentioned by the community “we are really happy for having us there”. Because we are different to other NGO or university student that has been there before. They just want to know about how to deal with the “spooky” environment in Smorsan, and most of the time never having a conversation with them. In the end, they are just doing a slum tourism without any useful legacy.

Co-production, in this term as a collective and collaborative production of space finally can be more relevant to be re-existed against to urban problems. Citizen engagement to the process of future planning will be a vehicle to achieve mutual expectation between the diverse interest that can lead a greater dialogue towards broader city and citizen prospect.

When I wrote this article we, just finish our first presentation with the community and the local authority. To be honest, the outcome of this presentation is still far away from our expectation. However, it was a really short engagement from a long process that should be applied in this context. At least through the process of co-production that we did together it can be a valuable experience between us. Looking to people enthusiasm, not only as an object of the development, rather as a subject as well as the main actor is something that makes us really happy.

Finally, this reality should be taken into account for recent academician and professional in this field. These phenomena are obviously clear in our society. As a contested arena city will always give us difficult challenges that we should be aware. People live in a slum and informal settlement know how to survive for their life, even they do not know why they have been settled there and how to get out from its situation. Encountering poor people does not mean to give them something that makes them dependence on, but open the possibility to solve their problem to reach better quality life in the better social equity. (Mangunwijaya)

At this point, one simple question to the professional, where are you?

 

 

 

 

 

 

2 responses

  1. Diinisius Nico Avatar
    Diinisius Nico

    Tulisan ini ada di buku yang mana ya mas ? “Romo Mangunwijaya, masyarakat kumuh tahu bagaimana bertahan hidup meskipun mereka tidak tahu mengapa mereka berada disana dan bagaimana keluar dari keadaan yang sedang mereka jalani. Menghadapi masyarakat kumuh bukan berarti memberi sesuatu yang membuat mereka ketergantungan, namun membuka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah mereka untuk mendapatkan kulitas hidup dan keadilan social yang lebih baik.”

    Like

    1. coba kamu cari buku kampung kemerdekaan karya prof. darwis khudori

      Like

Leave a comment

The author

@nelzamiqbal

Related posts