nel gimana hasilnya?

Alhamdulillah mi, reading listening dan writingnya lancar, speakingnya juga temanya nggak susah, tentang mimpi di masa depan,…jadi untuk yang kali ini nelza yakin bisa tembus, doakan saja ya mi.

Jawab saya dengan sangat amat meyakinkan di kesempatan kedua uji kemampuan bahasa. Saat itu sudah kali kedua saya menjalani test kemampuan Bahasa. Sudah jenuh rasanya tiap hari berlatih dan berurusan dengan materi-materi yang selalu sama. Di sebuah kota kecil bernama Pare, saya memulai meng-enolkan kemampuan bahasa asing saya lagi. Belajar memperbaiki kemampuan bahasa asing saya, yang sebenarnya juga tidak seberapa saya mendalaminya. Keputusan berpacu dengan waktu, dengan resiko untuk batal sekolah di luar negeri juga saya ambil saat itu. Itu kali kedua, tabungan sisa bekerja di ibukota juga semakin terkuras saja. Ah memang perjuangan itu selalu menyisakan banyak cerita.

Dan pengumuman itu pun datang, berbekal rasa percaya diri yang terlampau tinggi saya menatapnya dengan penuh keyakinan. Kegagalan di kesempatan pertama agaknya memberi pelajaran yang amat berarti. Saya menyiapkan diri sebulan lagi, sebulan setelah saya menerima hasil yang nyaris selesai di kesempatan pertama. Tapi untuk syarat administrasi, nyaris saja tidak akan pernah cukup, itu sudah harga mati.

dan lalu,

ah hasilnya kembali lagi, nyaris dan nyaris lagi.

Kecewa, sudah pasti, menyerah jangan ditanya lagi untuk beberapa saat saya merasa tuhan tidak adil lagi. Sebenarnya saya tidak terlalu suka bercerita tentang hal ini, kok ya kesannya apa-apa itu selalu ada sisi yang didramatisasi. Tapi kenyataannya begitu, saya tidak menambah dan melebihkannya. Kegagalan kali kedua itu begitu menyakitkan. Ditambah lagi dengan kenyataan waktu yang makin terbatas, belum lagi saya sudah berkoar dimana-mana bahwa saya akan studi di luar negeri. Masih ditambah saat itu saya juga memegang tanggung jawab sebagai partner belajar writing dan speaking di TEST English School. Mau ditaruh dimana muka saya kalau saya nggak berhasil ke luar negeri?. Ah, rasanya setahun yang sudah saya lewati dan berhari-hari mendalami bahasa inggris lagi dan lagi seolah tidak ada arti.

Saya menelpon ibu saya lagi malam itu, dan saat itu terasa sangat haru.

“ Mi, maaf nelza gagal lagi, “ ,

“ Loh yokopo nak kok iso “,

“ Nggak tau mik salahnya dimana, perasaan ku kok ya kok baik-baik saja”,…

”trus ini gimana targetmu” .

Saya menghitung lagi dengan teliti, berapa kali lagi kesempatan saya untuk mengambil test itu lagi. Kali ini bukan hanya masalah dana, tapi ini juga berkenaan dengan deadline beasiswa.

“mi, kesempatanku mungkin tinggal dua kali lagi, dan tabunganku mungkin sudah nggak cukup lagi”,…

”ya sudah nak, kamu butuh biaya berapa biar umik yang nambahi”,…

”yang penting kamu berusaha lagi… nggak perduli berapa kali kamu harus mencoba lagi,….wes kamu pokoknya berjuang semaksimal mungkin… umik percaya kamu itu bisa nak”.

Ya, singkat cerita energy yang hilang itu penuh seketika. Kalimat ajaib itu muncul dari wanita yang pertama kali saya cinta. Kata-katanya pada malam itu seolah jadi mantra paling sakti mandraguna. Ketika saya sudah hampir kehilangan kepercayaan, bahkan pada diri saya sendiri. Dan keberuntungan dunia sedang tidak memihak pada saya lagi, beliau hadir dengan perhatian khasnya. Menenangkan anak lelakinya yang sedang kehilangan arah.

Saya adalah tipikal anak mami, saya mengakuinya didepan penguji beasiswa LPDP pada saat itu. Saya tidak akan malu mengakuinya sampai kapan pun saja. Karena kedekatan saya dengan ibu saya memang sedikit lebih erat ketimbang dengan ayah saya. Tanpa mengurangi rasa hormat dan sayang saya pada keduanya, mungkin benar apa yang selama ini dipahami secara luas. Bahwa, anak lelaki akan cenderung memiliki kedekatan dengan ibu, sedang anak perempuan lebih dekat dengan ayah nya. Setidaknya itulah gambaran keluarga kecil saya.

Ibu saya orangnya keras, keras apalagi dalam hal-hal yang principal. Barangkali ketika tidak di todong untuk segera menyelesaikan kuliah saya dengan membandingkannya langsung dengan apa yang sudah adik saya lakukan pada saat itu. Saya akan lebih betah lagi berlama-lama di bangku sarjana, dan ceritanya akan jauh berbeda. Masih ingat saat itu saya sedang (terlihat) santai usai uji sarjana, kendati demikian saya juga tidak sepenuhnya diam, ada beberapa kompetisi yang saya ikuti saat itu. Tapi memang yang terlihat diluar saya semakin tidak jelas saja, tenggelam dalam diskusi harian di kampus juga berakibat berubahnya frequensi waktu tidur saya.

nel, kamu ini terus maunya bagaimana? Adekmu lho wes lulus, barusan juga ngabarin sudah keterima beasiswa S2, lha kamu kok sik tura-turu ae

Perbincangan di telepon empat tahun lalu itu masih saya ingat. Emosi di awal sudah pasti, karena saya paling tidak suka dibanding-bandingkan apalagi dengan saudara kandung sendiri. Tapi karena itulah akhirnya terselesaikan revisi hasil skripsi saya. Malam itu juga saya menyelesaikan portofolio dan curriculum vitae untuk saya ajukan melamar pekerjaan keesokan harinya. Dan tiga hari setelahnya panggilan untuk bekerja mulai berdatangan. Mungkin tanpa kata-kata itu tadi, nggak akan nada cerita saya di wisuda tepat di tahun kelima. Bisa jadi angan-angan di luar negeri juga akan hilang seketika. Ibu saya memang berbeda, beliau mampu menempatkan diri kapan menjadi (sangat) offensive pada anak lelakinya kapan menjadi sosok yang hangat dan selalu dirindukan. Beliaulah wanita yang paling mengerti bagaimana saya.

Beberapa tahun belakangan, seiring dengan bertambahnya usia saya. Saya juga banyak sekali bercerita dengan ibu saya. Maklum frekuensi pulang saya kerumah memang sedikit minim sejak saya berkuliah di level sarjana. Jadi ketika pulang kami sering menyempatkan waktu berdua, tidur berdampingan dan bercerita. Terkadang ibu saya tertidur saat saya sedang panjang lebar bercerita tentang hiruk pikuknya dunia yang sedang saya jalani. Saya memakluminya, kadang saya cuman senyum saja melihat ibu saya tertidur. Saya paham, selain pekerjaannya yang istimewanya sebagai ibu rumah tangga beliau juga seorang abdi negara yang selalu berkutat dengan kesibukan yang luar biasa. Tapi ketika anak-anaknya sedang dirumah, beliau selalu menyempatkan diri untuk memasak. Entah apapun yang dimasak ibu saya selalu enak bagi saya, masakannya selalu ajaib dan mengingatkan akan hangatnya rumah.

Ketika akan berangkat ke Inggris, September tahun lalu. Ibu saya minta maaf karena sudah tidak ada tenaga untuk membuatkan abon daging dan dendeng daging kesukaan saya. Saya jadi merasa amat tidak enak waktu itu, “le sepurane yo umik sek repot iki, abone akhire umik pesen

Cerita yang juga menarik ketika saya pulang sejenak untuk melakukan riset terkait disertasi saya. Ibu saya  tidak pernah bertanya bagaimana saya belajar di sana, pengalaman saya singgah di banyak negara, atau cerita tentang bagaimana bergaul dengan teman yang berbeda. Dan pertanyaan yang mengemuka adalah “solatmu piye le?”, ya kesannya sangat biasa dan sangat puritan. Tapi itulah hal nyata lain yang selalu akan jadi dilemma. Persoalan menjaga nilai-nilai agama sangat krusial jika nantinya kita hidup di negara minoritas di luar sana. Kita akan sangat terbuka untuk melakukan perkembangan diri anda, menjaring networking yang tak terbatas, melebarkan pengetahuan baik formal maupun informal. Tapi di sisi lain peluang melemahnya kemauan menjaga agama juga semakin terbuka lebar. Celakanya tidak ada lagi keluarga dekat yang senantiasa mengingatkan seperti halnya ketika kita hidup berdekatan.

Suatu ketika saya terlibat diskusi sederhana dengan kawan diskusi saya. Mengenai apa itu cinta? Tapi kawan saya tiba-tiba bercerita kalau cinta itu bukan perasaan tapi skill. “Lho kok bisa” , katanya ketika kita memandang cinta sebagai perasaan maka suatu saat cinta itu bisa saja berubah. Karenanya tingkat perceraian itu tinggi dan selalu saja alasanya karena perasaan yang tidak lagi sama. Hal ini akan berbeda ketika kita memandang cinta sebagai skill, kita akan selalu terlatih untuk memahami kekurangan dan kelebihan pasangan kita. Jadi apapun yang terjadi pada pilihan kita maka skill itu yang selalu membuat kita setia. Masuk akal juga kan?

Tapi bagaimanapun bagi saya perasaan cinta saya ke ibu saya selalu sama, dari awal, kini dan nanti. Di sisi lain memandang cinta sebagai skill juga harus saya amini. Karena sampai saat ini pun saya selalu belajar untuk mengenal ibu saya, dan itu tidak akan pernah berhenti. Memang sudah saatnya saya yang lebih mengerti ibu saya daripada ibu saya yang harus terus menyesuaikan diri dengan saya. Jikalau kita sesekali terlibat perdebadan mengenai hal yang tidak sama. Saya yang pada akhirnya lebih bersalah, karena masih gagal memahami bahasa cintanya.

Hari ini beliau berulang tahun yang kelima puluh tiga, usia yang tidak lagi muda. Dari kejauhan saya hanya bisa berdoa agar ibu saya selalu diberi kenikmatan sehat di segala aktivitasnya, doa yang selalu sama saya ucapkan di setiap sujud saya.

Mohon maaf, anakmu acapkali masih sering gagal memahami bahasa cintamu.

Mohon maaf, diusia yang segini dewasa anakmu masih sering merepotkanmu.

Mohon maaf, masih sebatas ini saja anakmu bisa dibanggakan

Terimakasih untuk tidak berhenti percaya pada anak lelakimu ini, terimakasih sudah menjadi ibu paling sempurna yang pernah saya dan keluarga ini miliki. Terimakasih untuk selalu jadi alasan pulang ke rumah lagi. Terima kasih untuk segala peluh, keringat, serta usaha yang tiada henti yang entah tidak akan pernah mampu aku membalasnya.

Seandainya ada usulan tokoh paling kuat didunia ini, maka namamu ibu yang saya sebut paling dahulu. Selamat ulang tahun ibuku, Lulu A F , pelukan hangatmu akan selalu kurindukan.

13669202_10210182222022168_1950939527264816438_n

Demikian surat cinta ini saya akhiri.

London, 10 Agustus 2016.

 

 

 

 

Leave a comment

The author

@nelzamiqbal

Related posts