IMG_6858

Sebuah pernyataan kritis mengenai kota pernah diungkapkan seorang jurnalis dan juga kritikus kota asal Amerika Serikat bernama Jane Jacobs. Bahwasanya kota memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu untuk setiap warga kotanya, hanya jika sesuatu itu dihasilkan oleh setiap warga kota itu sendiri. Pernyataan ambisius yang disampaikan lebih dari lima puluh tahun itu terang saja memberikan banyak pengaruh terhadap dunia arsitektur dan tata kota. Lebih-lebih disaat yang sama, diberbagai belahan dunia profesi ini sedang menunjukkan tajin-nya sebagai profesi yang sangat ahli dalam urusan menata kota serta isinya.

Kendati demikian, barangkali ada hal yang terlewat dan mungkin masih cukup relevan untuk dibahas saat ini. Pada dasarnya, keilmuan arsitektur dan tatakota sebenarnya berada pada keilmuan yang lemah. Batas keilmuan yang dimiliki seseorang yang terlatih dan dididik untuk kemudian dianggap ahli dibidang ini sangatlah tipis bedanya dengan warga kota biasa. Contoh kongkritnya, seorang warga biasa dapat dengan mudahnya menilai bahwa sebuah bangunan atau tatanan sebuah kawasan kota itu baik ataupun buruk. Hal ini tentu saja tidak akan berlaku di ranah pengetahuan-pengetahuan yang kuat seperti kedokteran misalnya. Karena itulah, penting bagi arsitek maupun perencana tata kota untuk melepas predikatnya sebagai seorang yang paling mengerti tentang bangunan atau kota serta memulai membuka kesempatan-kesempatan partisipatif dan kolaboratif untuk memproduksi pengetahuan dan solusi-solusi perkotaan bersama warga kota.

Pendekatan partisipatif masih dipandang sebagai cara potensial untuk menjembatani perbedaan sudut pandang antara ahli dan bukan ahli (warga) di ranah tata kota. Agaknya pendekatan ini pun sudah cukup akrab mengisi berbagai topik diskusi, seminar, proposal, jurnal, bahkan dokumen pemerintah. Hanya saja kehadiran kosa kata ini sering dianggap pelengkap dan pemanis dokumen proyek belaka. Oleh karenaya saat ini dibutuhkan pemahaman dan tinjauan kritis mengenai praktek partisipatif yang sejatinya berpotensi menjadi sarana memberkuasakan warga masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalahnya.

Praktek pemberkuasaan warga melalui pendekatan partisipatif ini dapat dimulai dengan membuka peluang diskusi kritis yang mampu membongkar relasi-relasi kuasa yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari warga kota. Hal ini penting dilakukan dalam rangka membuka kesadaran kritis warga mengenai dirinya sendiri. Sehingga hasil perencanaan partisipatif nantinya bukan hanya persoalan fisik belaka tetapi juga hal-hal yang bukan fisikal. Pada tahapan ini mekanisme partisipatif melalui proses produksi pengetahuan antara warga dan perencana juga akan menghasilkan analisa-analisa sosial dan spasial yang lebih kaya juga mendalam. Tentu saja hal ini sangat mungkin terjadi dikarenakan warga sudah sampai pada tahap secara kritis menemu-kenali dirinya sendiri serta lingkungan tempat mereka berhuni.

Disinilah peran arsitek dan perencana akan bergeser dari seorang yang serba tau menjadi fasilitator yang rendah hati untuk bersedia belajar dan membantu proses pemberkuasaan warga. Tantangannya adalah bagaimana para arsitek dan perencana ini menanamkan perspektif mendasar bahwa masyarakat juga memiliki kadar keahlian yang sama dengan yang mereka miliki. Melalui sudut pandang inilah ide-ide solutif yang lebih kaya mengenai tata kota akan semakin nyata dihasilkan. Sekali lagi menghadapi permasalahan kota dan warganya bukan berarti memberikan sesuatu yang membuatnya bergantung, tetapi terletak pada cara kita membuka kesempatan-kesempatan masyarakat memberkuasakan dirinya sendiri untuk kemudian mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Artikel ditulis dalam rangka Sayembara Esai LPDP 17 Maret 2017 , *yang hasilnya juga misterius hehe

Leave a comment

The author

@nelzamiqbal

Related posts