Bambu dan Realitas Sustainable Yang Tersembunyi

Tidak terlalu lama rasanya euforia tentang green, eco, dan sustainable building – development mewabah di seantero jagat Indonesia bahkan dunia. Terlebih dengan high exposure media (arsitektur) mainstream yang lantas menjadikan green sebagai tren dalam mewujudkan hunian atau bangunan yang dianggap peduli terhadap keberlangsungan lingkungan. Tapi pernahkah kita berpikir lebih mendalam tentang apa itu green ? apa itu sustainable ? dan mengapa penggunaan material yang berlabel “green” saja itu tidak cukup untuk menjelaskan gagasan besar dari “sustainable” ?

Sebuah manifesto hasil dari kompetisi desain mengenai “green” di dunia arsitektur pernah cukup kritikal dihasilkan oleh biro desain Rotterdam bernama STAR di tahun 2011. Manifesto itu berjudul ” O’Mighty Green ” yang terdiri atas lima hipotesa mengenai fenomena green di dunia arsitektur. Dimana di point terakhir mereka menulis bahwa

The Green is the common lie, the secret consensus, the perfect crime; everybody knows that it cannot be that good, that it cannot be that easy, but why bother? It sells, and there is enough Green for everybody ” .

16640873_10212273917027270_1438831475486300833_n

Pada kenyataanya memang demikian, seandainya saja kita sadar rasanya tidak terlalu lama juga kita dimanjakan dengan iklan batu bata ramah lingkungan, cat ramah lingkungan, genteng ramah linkungan, serta label “ramah-ramah” yang lainya. Komoditas-komoditas ini pada akhirnya eksis sebagai bahan jualan, yang kembali lagi menghegemoni pasar dengan sedemikian kuatnya. Termasuk (barangkali) kewajiban untuk mensertifikasi bangunan dengan label hijau untuk bangunan-bangunan tinggi di kota-kota besar seperti Jakarta. Hemat kata label hijau yang menggema sesungguhnya menjelma menjadi satu komoditi yang bisa dijual dan berkembang sejalan dengan tren dan mekanisme pasar yang ada saat itu.

Terlepas dari kenyataan itu tulisan ini tidak akan terkonsentrasi pada fokus material yang high-tech terlebih dahulu, namun mengambil contoh yang sederhana saja, bambu ?

Barangkali ketika mahasiswa arsitektur hari ini diberikan tugas untuk mendesain bangunan ramah lingkungan dan low-budget pastilah material bambu yang dipilih. Padahal persoalanya tidak sesederhana itu, karena sampai hari ini tidak (atau belum) ada federasi dan otoritas bangunan di USA, EU, ASIA yang secara resmi mengeluarkan standart bambu sebagai bangunan permanen. Kendati demikian, tidak bisa dipungkiri bahwasanya dengan kecepatan tumbuhnya (3-5 tahun siap panen), saya harus mengiyakan pendapat bahwasanya bambu itu sangat potensial untuk digunakan sebagai material masa depan. Bahkan sudah banyak uji material ketahanan oleh institusi-institusi pendidikan yang menyatakan (misalnya) bambu memiliki kekuatan tarik yang lebih kuat dari pada baja mutu sedang. Terlebih lagi bambu adalah lokal material yang mudah ditemukan di hampir seluruh penjuru Indonesia.

Sayangnya tidak banyak yang tau, tanpa proses pengawetan yang tepat dan sebagai bahan baku yang memiliki kadar gula tinggi secara alami bambu hanya memiliki masa hidup yang tidak lebih dari dua tahun jika digunakan sebagai material bangunan. Karenanya pengawetan bambu menjadi kunci utama terhadap lama tidaknya material ini bertahan sebagai material bangunan. Tidak heran Sekolah Alam tersohor macam Green School di Bali mematok tarif yang cukup tinggi untuk biaya sekolahnya, bukan hanya untuk pembiayaan sumber daya manusia dan operasional tetapi juga biaya perawatan yang tidak sedikit harus dikeluarkan.

Barangkali ketika kita berbicara konteks Indonesia dan Nusantara, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya bambu bisa jadi solusi yang menarik. Tetapi akan jadi sangat munafik ketika kita berbicara green, namun kita mengesampingkan unsur “affordability”. Sangat lucu ketika kita membangun menggunakan material bambu misalnya, material ini mudah didapat dan murah namun biaya perawatanya melebihi penggunaan bahan-bahan konvensional lainnya.

Lalu kembali lagi , “green is the common lie” .

Inti dari tulisan ini sebenarnya baru dimulai, karena memang pada dasarnya saya selalu ingin tau kebenaran konsep sustainable yang cukup mainstream diperbincangkan paling tidak satu dasawarsa kebelakang.

16806940_10212273851745638_3944382533799446363_n

Berawal dari pertemuan Arsitektur Komunitas Indonesia di Yogya ,14-17 Februari 2017. Saya berkesempatan mengunjungi sebuah Community Center yang dibangun di ujung Yogya, di Desa Kulonprogo. Sebuah ruang bersama yang terbuat dari bambu dan diinisiasi dua tahun lalu oleh Gereja Paroki St. Theresia Lisieux Boro.

Ada beberapa point menarik dibalik terbangunnya Community Center dari Bambu ini, yang tidak lain adalah proses yang melatar belakangi berdirinya bangunan bersama ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya , bambu bukanlah material yang sulit untuk ditemui di Indonesia terlebih di Kulonprogo, Yogyakarta. Bambu di kawasan ini sudah sejak lama tumbuh sebagai ekosistem penjaga kualitas air dan tanah warga sekitar. Hanya saja, pemanfaatannya selama ini tidak lebih sebagai bahan sekunder seperti membuat kandang ayam misalnya. Derasnya modernisasi membuat masyarakat lupa akan potensi besar bambu. Pemahaman mainstream bahwa membuat bangunan yang kuat itu hanya dari concrete atau batu bata membuat material ini semakin menjadi anak tiri saja.

Terlepas dari upaya penggunaan material lokal sebagai alternatif, saya akan sangat mudah mengklaim bahwasanya bangunan bambu yang indah di kota dan berhasil berdiri sekian tahun lamanya namun menggunakan pengawetan yang kompleks dan mahal sebagai “another common lie“. Tetapi dengan sumber material yang dekat, dan terus tumbuh agaknya kondisi ini menjadi hal yang sangat disayangkan apabila material ini tidak termanfaatkan.

Berangkat dari kegelisahan akan mainstreamnya modernisasi dan mulai ditinggalkanya upaya untuk mendaya-gunakan material lokal, maka Romo Alib mengajak warga untuk bergotong royong membuat ruang bersama yang terbuat dari bambu. Namun prosesnya tidak sesederhana itu, melalui fasilitasi dari teman-teman Arsitektur Komunitas (Arkom) Jogja , masyarakat diajak terlebih dahulu kembali menumbuh-kenali apa-apa yang ada di lingkungannya melalui proses pemetaan bersama. Kemudian dengan mendatangkan beberapa Bamboo-artisan masyarakat kemudian dibekali keilmuan tentang pengolahan bambu yang kemudian menghasilkan inkubasi lain bernama Paguyuban Deling Aji, sebagai kelompok yang sudah bisa mengolah bambu dari hulu ke hilir , dari pembibitan – penanaman – pemilihan – pengawetan – sampai kontruksi.

Lebih menarik lagi keseluruhan bambu yang dipakai pada bangunan ini adalah hasil swadaya warga. Mereka mengumpulkannya sebanyak dua batang bambu per kepala keluarga sehingga terkumpul kurang lebih 900 bambu untuk membangun Community Center ini.

16807687_10212273934067696_5477637946875936228_n

Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan akhirnya ruang bersama ini usai terbangun dengan pendekatan partisipatif dan gotong royong bersama seluruh warga Kulon Progo. Tak lama kemudian keberhasilan ini diikuti dengan berkembangya Paguyuban Deling Aji yang perlahan berhasil menjadi ruang baru masyarakat Kulonprogo untuk berkehidupan dari bambu.

Pertanyaanya kemudian, sudah sustainable kah apa yang terjadi di Kulonprogo?

Hal lain yang perlu diketahui lagi adalah keputusan warga untuk tidak melakukan pengawetan yang kompleks dan mahal. Namun metode yang digunakan adalah metode pengawetan sederhana, sehingga ada bagian dari Community Center yang harus dihancurkan dan di “re-design” ulang sebagai konsekuensi keterbatasan dana untuk perawatan bangunan. Contohnya saja bagian atap yang harus dibongkar dan dibuat ulang setelah lima tahun. Namun hal ini menurut saya sudah bukan jadi pekerjaan rumah yang berat, karena warga sudah tau bagaimana menggunakan material bambu, lebih-lebih memahaminya sebagai material yang pada dasarnya tidak tahan lama.

Kemudian masih ada satu hal tersembunyi dari sudah terjawabnya masalah ke-sustainan material bambu di Kuloprogo. Masalah material ini saya anggap selesai karena lokasi material yang dekat, pengetahuan pengolahan sudah tersalurkan, dan warga perlahan mulai berdaya. Sehingga ada matching kondisi antara kebutuhan dan juga ketersedian sumberdaya baik material dan immaterial. Namun lebih dari itu, berulangnya proses yang sama, pendekatan yang sama dalam membangun bangunan ini nantinya menyisipkan upaya tersirat warga dalam menterjemahkan definisi sustainable yang lebih dari sekedar persoalan material. Investasi modal sosial yang teraplikasikan dengan nilai-nilai kebersamaan gotong royong akan selalu bisa terulang dan berulang. Ditambah lagi dengan rasa kepemilikan bersama yang kuat dan tidak hanya terhadap satu bangunan saja tetapi Kawasan Kulonprogo dan Yogyakarta dalam sekup yang lebih luas menjadikan proses preservasi gotong royong kian terjaga.

Pada akhirnya saya masih menemukan gambaran nyata bahwa gotong royong itu masih ada, dan saya temukan sendiri di Kulonprogo, di ujung Yogya.

Mungkin sudah saatnya membuat kebersamaan dan gotong royong sebagai the next common sustainable 🙂
Perjalanan Yogyakarta – Probolinggo
Ranggajati 1C
18-02-2017 20.35

referensi lanjutan :

http://st-ar.nl/o-mighty-green-summary/

https://www.guaduabamboo.com/construction/the-reality-about-building-with-bamboo

https://www.academia.edu/8123912/Bambu_Sebagai_Bahan_Konstruksi_dan_NonKonstruksi

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s