Ada yang sedikit mengganjal di lebaran kali ini bagi saya. Tidak ada lagi riuh kemacetan jalanan, menuju arus mudik yang rutin kami sekeluarga lakukan. Juga gema takbir serta suara petasan yang hilir mudik bersahutan riuh di kiri dan kanan perjalanan. Hanya sesekali saya mendapat broadcast maaf-maafan di linimasa social media yang memang seolah menjadi kebiasaan menjelang lebaran. Ya, semua tenggelam dalam diam, hening dan sepi, sesepi suasana jalanan diarah depan jendela flat di London sebelah tenggara NW54SA.
Pagi itu seperti biasa, atau mungkin masih terlalu pagi karena saya juga belum beranjak dari kebiasaan harian berpuasa di negara ini. Sempat berharap untuk bermimpi berlebaran dan bersalaman dengan handai taulan, namun sayangnya itu juga tidak terjadi di malam itu. Tulisan ini agak terlalu melankolis memang, dan saya harus mengakuinya. Berlebaran pertama dari jauh dari keluarga adalah kenyataan pertama yang saya jalani sepanjang hidup. Celakanya ini jauh beribu-ribu kaki dari kampong halaman, tidak mungkin rasanya kembali ke rumah dalam tempo beberapa jam. Setidaknya waktu masih dalam perantauan di ibukota, atau pada saat kuliah di kota sebelah hal itu masih sangat mungkin dilakukan.
Tapi cerita ini cukup menarik untuk diceritakan ulang. Dan memang kusengaja kutuliskan tepat seminggu setelah lebaran. Kenapa seminggu? Bagi kawan-kawan yang tinggal di daerah tapal kuda dan terutama Madura tentu sudah tidak asing dengan tradisi telasan. Jangan berharap menemukan opor ayam di hari pertama lebaran. Tapi tepat tujuh hari setelahnya akan banyak kiriman opor dan ketupat berdatangan. Terkadang tradisi ini jauh lebih meriah ketimbang hari pertama lebaran. Inilah hebatnya orang Madura, ketika seluruh dunia mendapat satu lebaran, “kami” merayakannya dua kali. Dan tulisan ini sengaja saya hadirkan untuk mengingat moment itu, kendati materinya sudah cukup kadaluarsa seminggu lamanya.
Sebelumnya, saya harus mengakui bahwasanya saya sendiri bukan keturunan darah murni madura, tapi pengaruh lingkungan di kota tempat saya tumbuh membuat kalibrasi warna darah ini menjadi sedikit biru deun. Kadang juga terpengaruh di logat dan cara bicara. Silahkan saja dibayangkan bagaimana logat inggris barat dan inggris timur bertemu, dan itulah kemungkinan besar accent saya sekarang hehe!.
Probolinggo, kota tempat saya tumbuh memang ajaib, kebanyakan penduduknya adalah kaum pendatang. Karenanya kalau sudah terlalu lama tinggal disini akan menjadi problematika dan dilematika sendiri. Kalau berasal dari Jawa, maka jawanya makin kacau nggak karuan. Kromo nggak kromo, ngoko yo nggak ngoko. Ketika ditantang berbahasa Madura, pun sudah jelas masih belepotan. Dulu sempat agak kesel juga dibilang Madura, tapi akhirnya saya juga harus bangga karenanya. Suatu ketaka ayah saya pernah bercerita bahwa bangsa Madura adalah suku petualang, ini tak lepas dari pengalamanya bertemu dengan banyak orang Madura sampai ke tanah jiran maupun jazirah arab. Yang menarik adalah kebanyakan mereka ini cuma bermodal nekat saja, tapi pada akhirnya bisa hidup dan berkehidupan di tanah yang berbeda. Meminjam guyonan khas Cak Nun “odik dimmah bei padeh cak, wong sing nduwe gusti Allah”, “hidup dimana saja sama, kan itu buminya Tuhan”.
Ada banyak versi tentang telasan, telasan berarti telas atau dalam Bahasa Jawa habis, atau anggapan kedua yang berarti masanya meminta maaf karena dosa setahun belakang sudah dinyatakan habis. Ya, tidak ada yang salah maupun benar mengenai definisi telasan sebenaranya, keduanya sama dalam dan sama benarnya.
Tapi dalam tulisan ini, saya sedikit memaknainya sebagai penghabisan. Karena terlepas dari curhatan lebaran tahun ini yang jauh dari keluarga. Dan hanya memungkinkan bersilaturahmi lewat layanan video call saja. Tuhan juga punya cara sendiri untuk membahagiakan umatnya yang sedang hidup berkejauhan. Karenanya mau tidak mau saya harus percaya bahwa dimanapun kita tinggal, intinya sama ini adalah bumi Tuhan. Yang mungkin nggak mengenal asas-asas geografi maupun perbedaan antropologi, semuanya akan sama saja selama kita menjaga frekuwensi berketuhanan.
Hari itu setelah salat ied di wisma nusantara dan tanpa terencana tiba-tiba saja menerima ajakan seorang kawan untuk berkumpul dengan Madura Diaspora. What! Haha ya, ternyata cukup banyak ditemui orang Madura yang berkehidupan di London. London bro! Banyak juga dari mereka sudah settled disini dan bahkan membesarkan anak-anaknya di kota ini. Ada juga yang menikah dengan orang Inggris, dan melahirkan keturunan lucu-lucu dan sudah tentu jago berbahasa Inggris. Saya belum memastikan apakah anak-anak mereka juga fasih berbahasa inggris timur (Madura). Tapi mas yon yang dihari itu bersama jagoan kecilnya, sempat nyeletuk ke anaknya where are you from boy ? , Madura, dia menjawab dengan logat british.
Jangan ditanya masalah makanan, apapun disini tersaji dari dawet, opor, bakso, iga bakar, kopi hitam, ayam panggang, jajanan pasar, dan tentunya sate. Kalau masalah rasa dan kepuasan, pastinya belum pernah saya makan sebanyak dan seenak itu ketika saya di London. Ini seolah benar-benar telasan, bagi saya pribadi sebuah moment penghabisan untuk makan sebanyak-banyaknya. Telasan ongguh, tretan! Dan tentu saja yang paling menarik dari pertemuan yang cukup panjang itu adalah cerita-cerita keseharian dari mas-mas ini. Menarik ketika tau ada yang sudah tinggal di UK selama puluhan tahun, tanpa adanya resident permit. Hahaha, semakin percaya saja saya pada analogi bumi Tuhan.
Hari itu lebaran hari pertama, dan masih jelas ingatan saya bahwa hari itu mungkin akan berakhir biasa saja. Tetapi memang rencana tuhan selalu saja luar biasa, diawali bertemu dengan warga Indonesia di wisma nusantara lalu menyantap sajian Indonesianya, berlanjut bertemu dengan dengan Madura Diaspora, dan masih berlanjut lagi dengan piknik ala-ala bersama beberapa teman di hydepark London. Piknik kecil yang menjadi pengobat rindu kami untuk keluarga nan jauh disana. Tempat bercengkrama bahkan juga bernostalgia dengan lagu-lagu lama.
Benar saja hari itu akhirnya jadi hari yang tidak biasa, lebaran di tahun ini mungkin tidak berbeda, saya membahasakannya sebagai lebaran yang lain. Dan seperti analogy kata lainnya, maka ia sebisa mungkin tidak akan menghilangkan makna utamanya. Ah tuhan selalu saja romantis untuk menghadirkan takdir-takdir yang tak terduga.
Sekali lagi selamat berlebaran, mohon dimaafkan kesalahan lahir dan batin.
dari samping jendela
NW54SA