Today’s architecture, a brief comparative between Japanese and Indonesian Architecture

By comparing specific examples in your country with those in Japan, please state your opinion on the role that today’s architecture plays in urban planning in the globalization era, in terms of landscape preservation and human-nature coexistence

Recently, the increasing intention of humanity architecture, along with environmental, and the common good outcome, is inevitably a signal of serious problems in our built environment. Considering the fact that globalization and its neoliberal ideology failed to meet its goals to make a better life. Architecture especially in term of its spatial production as a tool of the capital cannot be underestimated. It also proofed that architecture still posits in a contradictory profession. Its actions intersect with a huge range of unrelated domains; at the same time, its nature -to build- is so complex that sadly grounded the architect as a builder and a thinker at the same time.

As I mentioned previously, architecture is a collective practice that will challenge its nature identity to engage with the important non-architectural issues. It is then embarking architecture not only as a solution delivery rather it can be an approach towards achieving wider opportunities. In particular, when it refers to the spatial interpretation of nature and human being.

Continue reading “Today’s architecture, a brief comparative between Japanese and Indonesian Architecture”

Advertisement

Japanese Architecture, and what I want to learn about

Based on what you have learned at university, what would you like to learn from Japanese architecture ?

Throughout my time, studying and practicing in architecture, planning, space, and design manifestos, I would like to argue that architecture is not merely about form acrobatics. It should be conceived as a collective practice that never be solely single entity.

In many times, architecture also can be acted as a virtual engagement beyond its physical intervention, and it goes broader than its nature function as a spatial context. Space and architecture are not separated dimension. Its indivisibly coupled following other social and spatial dimensions.   Continue reading “Japanese Architecture, and what I want to learn about”

“the myth” of community, co-production, and a reflection

| INDONESIAN |

Henri Lefebvre melalui magnum opusnya “the production of space”, pernah menyatakan salah satu elemen kunci untuk memahami ruang dan dinamika social pada fenomena kota adalah spesifikasi. Kompleksitas ruang beserta apapun proses produksi dan reproduksi didalamnya menjadikan ruang bersifat sangat spesifik dan unik.

Hal ini pula yang kembali mengaitkan memori saya tentang apa itu buku teles (basah) dan buku garing (kering). Sebuah istilah dari tradisi pembelajaran masyarakat Jawa yang secara singkat mendikotomikan kemampuan proses membaca secara harfiah melalui tulisan dan pembacaan melalui fenomena alam dan social secara nyata.

IMG_7138

Sebelum benar-benar terlibat dalam proses memahami “buku basah” melalui proyek field trip di Kamboja, saya hampir selalu mengamini pendapat Michael Foucoult, yang mungkin terlalu menghiperbolakan kehidupan masyarakat kumuh, dia berpendapat tinggalkan masyarakat kumuh dan mereka akan tahu bagaimana mereka memperjuangkan hak-haknya.

Continue reading ““the myth” of community, co-production, and a reflection”

wanita di garis depan permukiman informal ASIA

so, why you think that women are the frontline in the slum upgrading in Cambodia?

Because women are strong, especially in ASIAN, we cannot deny it,

Maurice Leonhardt , Asian Coalition of Human Rights (ACHR)

and everyone laughing and clapping

Sebuah jawaban yang seketika membuat beberapa teman saya kaget, dan sedikit heran. Terutama mereka yang memiliki kefanatikan di sudut pandang feminism. Barangkali berlaku juga buat anda yang berpendapat sama perihal kasus #dipasungsemen ibu-ibu rembang. Sehingga sempat memunculkan tanggapan dari seorang “cinta” aka Dian Sastrowardoyo yang mempertanyakan kemana bapak-bapaknya? Hai bapak-bapak kamu JAHAT,masa ibu-ibu yang harus dipasung berpanas-panas ria!. Ironi memang, tapi jangan marah dan sampai hati boykot filmnya, karena lantas pernyataan ini diklarifikasi lagi di kemudian hari.

Maurice, bukan orang baru di persoalan slum upgrading, bersama sejawat generasinya uncle ini mendirikan ACHR yang lebih dari 25 tahun lalu berdiri. Beliau cukup veteran untuk persoalan slum upgrading, terutama di wilayah Asia. Sehingga pernyataannya di 3rd International Workshop of City-Wide Upgrading di Kamboja, saya yakin bukanlah pernyataan yang spontas terlintas, tapi memang begitu adanya.

DSCF9086

Sempat terjadi diskusi yang cukup alot dengan beberapa teman wanita, terutama yang memang berpikir bahwa fighting the right itu adalah tanggung jawab bersama. Kenapa kita harus be-romantisasi dan menekankan bahwa semuanya adalah urusan wanita?.

Continue reading “wanita di garis depan permukiman informal ASIA”

ada butiran doa di setiap selfie, sebuah catatan kunjungan Jokowi dan para Menteri

 

do not judge the book by its cover

do not judge the selfie before you try!

CgkoePXWMAAJBZy

Saya jadi sadar kenapa pada akhirnya seorang Agus Mulyadi, yang di masa mudanya sempat dikenal si raja selfie bareng artis sehingga menjadi amat fenomenal seperti sekarang. Meskipun pada kenyataanya dia harus mengerahkan segenap jiwa dan raganya untuk memodifikasi hasil foto bareng artisnya agar terlihat alami.

Atau barangkali belajar dari kasus selfie yogya yang popular di media beberapa bulan lalu, dimana kita harus kembali berterimakasih pada kosa kata selfie yang menjadi headline banyak status social media saat itu. Karenanya lah kita tau Indonesia masih punya tempat yang harus dijaga.

Selfie sebuah kata yang dinobatkan oleh The Oxford Dictionaries sebagai Word of the Year 2013 lagi-lagi menarik perhatian saya. Keberadaanya terkadang menjelma seperti halnya mantan, resah untuk dipikirkan, tapi tetap saja berulang kali kita meng-kepoinya. Dalam hal ini selfie mungkin lebih dasyat, ketika kita sendiri mawas diri dan mengkritiknya. Namun pada kenyataanya kita akan dengan senang maupun berberat hati melakukannya.

Continue reading “ada butiran doa di setiap selfie, sebuah catatan kunjungan Jokowi dan para Menteri”

melihat lagi informalitas dan mata pisau penggusuran di Indonesia

01A

melihat lagi informalitas dan mata pisau penggusuran di Indonesia.

Wacana penggusuran dan konflik lahan di ranah informal kembali mengemuka kembali menghiasi headline-hedline utama di berbagai media massa baik online maupun offline. Keberadaanya hadir dan menguat ditengah isu politik dan juga pemilihan kepala daerah. Informal dalam pengertian sederhana KBBI berarti sesuatu yang tidak resmi. Di Indonesia informalitas bisa menyentuh banyak hal dari mulai pekerjaan, status, hunian, dan bahkan kependudukan. Sayangnya, analogi informal acapkali disandingkan dengan kondisi yang tidak layak, kumuh, dan kemiskinan.

Informalitas di Indonesia hari ini, apalagi berkenaan dengan kependudukan masih dianggap sebagai “sampah”, entitas yang harus disingkirkan jauh dari pusat kota. Kota yang katanya didesain untuk selalu bertransformasi kearah yang lebih baik. Kota yang mungkin akan jadi lebih menyenangkan jika akhirnya banyak bangunan tinggi berdiri, area taman hijau dimana-mana, dan keberadaan shopping center mewah yang bisa jadi arena kekinian bagi anak muda. Untuk kepentingan itulah terkadang proses penggusuran yang kembali booming saat ini kembali menuai kontroversi.

Namun, terkadang kita lupa informal juga punya hak untuk kota. Mereka hadir mengisi pos-pos yang tidak mengenakkan di kehidupan harian kita sebagai warga kota. Banyak dari mereka berprofesi sebagai tukang sampah, pemulung, tukang cuci, pengamen, pekerja serabutan, pedagang asongan, buruh dan lain sebagainya.

Kita juga lupa bahwa profesi ini adalah profesi yang selalu tidak diinginkan oleh masyarakat terdidik di kota megapolitan seperti Jakarta. Diakui atau tidak profesi ini lah yang lantas menjadi jawaban atas segala ketakutan kita akan hal-hal yang menjijikkan dan tidak kita inginkan. Dan secara tidak langsung kehidupan formal kita akan selalu berkaitan dengan keberadaan orang-orang yang tidak resmi ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa lantas kita acuh saja ketika hak hidup orang-orang yang berpengaruh ini dikebiri?

Continue reading “melihat lagi informalitas dan mata pisau penggusuran di Indonesia”

Catatan Online Lecture IYOIN 10 April 2016

2nd-olec-iyoin-lc-solo

Tertanggal 10 April 2016 lalu, saya berkesempatan untuk membagi cerita tentang beasiswa, study abroad, dan semua hal tentang studi di luar negeri melalui sebuah platform bernama IYOIN (Indonesian Youth Opportunities in International Networking) http://iyoin.org/ . Sebuah NGO yang didirikan teman-teman muda di Malang, dan saat ini sudah mulai mengcover beberapa wilayah di nusantara. Sempat terpikir dulunya membuat sebuah platform seperti ini, dengan agenda rutin berupa seminar online yang memberikan iklim diskusi sharing knowledge yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini juga tidak lepas dari kegiatan di masa awal selesainya Persiapan Keberangkatan – LPDP Batch PK 21, dimana angkatan kami menggunakan platform online sosial media LINE untuk lebih mengenal satu sama lain melalui sebuah tajuk program “WEB-BINAR”. Di tiap bulannya kami rutin mengadakan program satu jam lebih dekat, dan juga sharing informasi mengenai apapun. Dimulai dari wacana nikah muda, IELTS, diskusi masalah Urban dan Arsitektur hingga ke pembahasan kesehatan. Sayangnya setelah sempat beberapa bulan menjadi rutinitas kami, kebiasaan ini mundur teratur dan kemudian menghilang begitu saja. Istiqomah memang susah nyatanya, apalagi disaat kami sudah memulai perkuliahan kami masing-masing. Terkadang menengok pembahasan di group angkatan saja sudah cukup susah. Tapi tenang saja bonding kita sebagai PK21 Cakra Buana masih tetap terikat seperti janji kami pada saat PK “Devoted21ndonesia”.

Online gathering seperti ini merupakan pendekatan yang tidak sepenuhnya baru, karena memang platform yang disediakan sudah ada dan banyak. Bermacam jenis social media dari whatsapp, line, telegram, facebookchat, sudah cukup familiar dipergunakan untuk mengkoneksikan individu-individu yang terpisah jarak dan waktu.

Continue reading “Catatan Online Lecture IYOIN 10 April 2016”

menemukan Jawa Timur di Nottingham

jalan-jalan

Terkadang alasan travelling di kota lain ketika berada di luar negeri cukup sederhana, hanya karena ingin berdialog dengan teman se-daerah, se-kampus, se-jurusan, se-PK, se-beasiwa, dan kesemuanya dalah wajar terjadi. Tidak perlu perencanaan yang cukup matang untuk berkunjung ke tempat kolega-kolega tersebut, karena nantinya pun kita akan mendapatkan partner jalan yang seru  dengan destinasi pasti dan tentu saja cerita-cerita unik dibalik layar. Nottingham, adalah kota yang sangat identik dengan legenda yang muncul sejak abad 17, Robbin Hood. Sebuah cerita superhero lokal, yang lagi-lagi bertema oligarki, dimana dia muncul sebagai pahlawan yang “membenarkan” pencurian orang kaya dikarenakan ketimpangan sosial pada saat itu. Lantas kemudian membagikannya kepada orang miskin di area hutan Sherwood dan Nottinghamshire.

Saya memulai perjalan sehari ini dengan sangat dinihari, beruntungnya ada beberapa teman LPDP East Java yang sudah berkenan membagi ruang tamunya untuk beristirahat sejenak, terimakasih Fenty dan Ovy. Ya, berangkat dari beasiswa dan daerah yang sama memang memberikan keuntungan tersendiri dan itu tentu saja berbeda. Tetapi disinilah keberuntungan dari jaringan beasiswa, terkadang anda tidak terlalu mengenal orang-per-orang, atau hanya bercengkrama melalui jejaring sosial, dan seketika anda bertemu maka anda tidak akan terlalu merasa seperti orang asing. Terima kasih juga Zazi, Navila, Icha, dan Dea, ibuk-ibuk rumpi yang seru !.

Continue reading “menemukan Jawa Timur di Nottingham”

cerita dari brighton, it is BRIGHT + ON

 

1

Kembali ke edisi #JJM , alias jalan-jalan murah, ya enaknya kuliah di central London adalah kebebasan dan variasi pilihan perjalanan jarak dekat (mapun jauh) dengan harga yang kompetitif. Apalagi jika traveling yang dimaksud sudah terplanning jauh-jauh hari bukan tidak mungkin anda mendapatkan tiket ke Eropa hanya 1 Poundsterling. Liburan easter biasanya masanya mahasiswa menjelah eropa, tapi berhubung saya tidak punya schengen visa (yang sebenarnya ada tapi sudah expired) dan kebetulan masih belum berencana membuat ulang, maka kota-kota disekitar London pun menjadi pilihan.

Brighton, adalah kota bagian dari wilayah East Sussex, kota ini hanya berjarak satu setengah jam perjalanan dengan kereta, dan jika beruntung bisa didapatkan dengan 8 Pounds PP !. Harga yang menarik bukan, dengan fasilitas kereta yang nyaman dan juga tawaran untuk mengobati kekangenan angin pantai khas Kuta Bali Indonesia, which always be the best one !. Brighton juga banyak ditempatkan sebagai “must see” city and atractions di daytrip from London. Brighton memiliki bentukan loop khas kota kecil di UK, hal ini yang menjadikannya ramah untuk traveler yang mau menjelajah area utama kota dengan berjalan kaki.

Continue reading “cerita dari brighton, it is BRIGHT + ON”

A reflection of BUDD Camp 2016

Having an opportunity in a BUDD Camp Brescia 2016 seems like a great occasion for me. It was not only expanding my understanding to the current urban issue but also, my first real experience working in the ground field. After a series of discourses during our class in MSc Building Urban Design in Development, the camp acted as a breakthrough toward real cases and knowledge implementation. Starting to develop myself into a critical practitioner, our time in Brescia has given an experience how does developing practitioner work under the pressure of time, quality of output, team collaboration, and reflecting our notions. Working with the issue of migrants and how we can imply our interventions toward critical and alternative future scenarios is a challenging yet interesting at the same time.

j

Urbanism can be shown to be a temporary-centric based on historically urban phenomena and urban forms of integration in a specific time. Thus, an integrated plan for a temporal urban condition should be a system of interlinked actions which seeks to bring better intervention within the city in a whole.

Continue reading “A reflection of BUDD Camp 2016”